Belum lama ini kita sempat dihebohkan dengan berita masuknya limbah B3 ke Indonesia. Beberapa waktu yang lalu Dinas Bea Cukai mendapati sebanyak 113 kontainer yang berisi limbah scrap logam yang terkontaminasi limbah B3 (Republika Online, Kamis 1/3). Limbah B3 adalah Limbah bahan berbahaya dan beracun disingkat Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan / atau beracun yang karena sifat dan / atau konsentrasinya dan / atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan / atau merusakkan lingkungan hidup dan / atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain (PP No. 18 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun).
Sebenarnya ada fenomena unik dari kasus masuknya
limbah B3 ke Indonesia. Negara tercinta ini sepertinya memang “harus”
belajar dari real cases untuk baru dapat tanggap dan peka terhadap suatu
masalah. Lihat saja persinggungan antara Indonesia dan Malaysia, sebut
saja salah satu contohnya pada kasus klaim Malaysia terhadap angklung
Indonesia, tarian kecak Bali dan lain sebagainya, maka baru saat itu
Indonesia seakan kebakaran jenggot mengakui hak miliknya, ketika itu
baru kita sibuk membuat peraturan, regulasi, hak paten dan tetek bengek
lainnya. Apakah kita tidak jera dengan insiden hilangnya kepulauan
ligitan dan sepadan yang jatuh ke tangan Malaysia beberapa waktu lalu?
Nah, apakah fenomena impor limbah B3 akan terus dibiarkan berjalan
begitu saja hingga nanti semua Negara akan mengirim limbah B3-nya ke
Indonesia?
Sebenarnya ada apa dengan bangsa ini? Rasanya belum terlalu lama Indonesia merdeka, baru hampir ke-67 tahunnya namun begitu banyak perubahan, bukan menjadi lebih baik tapi malah sebaliknya masuk kedalam keterpurukan yang mendalam. Bila sewaktu di bawah kepemimpinan Bung Karno bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang keras , berani “tampil beda” dan senantiasa berpihak dan membela Negara-negara Asia-Afrika yang masih tertindas oleh kolonialisme. Sekarang semua itu seolah tinggal sejarah. Saat ini kita hanya mampu diam tak berbalas ketika bangsa-bangsa lain mengirimkan limbah B3 ke Indonesia. Bukankah itu suatu penghinaan atas moral bangsa? Wong Negara yang subur makmur gini kok malah dijadikan tempat pembuangan limbah B3 oleh Negara lain. Negara lain yang “cuma” dapat kiriman asap dari kebakaran hutan di Indonesia yang notabenenya tidak ada faktor kesengajaan, hanya karena fakor angin sehingga sampai ke Negera tetangga (Malaysia, Singapura) namun mereka sudah heboh bukan kepalang.
Apakah fenomena itu masih kurang untuk membangunkan kita dari tidur yang panjang? Satu hal lagi terkait fenomena pemanasan iklim global (Global Climate Change). Laju pertumbuhan penduduk dunia terutama di Negara-negara belum berkembang dan terbelakang, telah menimbulkan banyak masalah bagi umat manusia. Masalah-masalah tersebut antara lain kebutuhan pangan, pemukiman, lapangan pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya yang akan berdampak pada masalah lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya jumlah penduduk turut memacu pembangunan, dalam pembangunan sendiri memerlukan berbagai sumberdaya, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup manusia.
Tak ada yang salah memang dengan konsep pembangunan yang tengah gencar-gencarnya dilakukan semua orang di berbagai Negara, termasuk di Indonesia. Namun satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana agar pembangunan tersebut tidak mengganggu fungsi daripada lingkungan., karena lingkungan hidup memiliki kapasitas terbatas untuk mampu mendukung beban pencemaran dan pengrusakan yang diterimanya.
Protokol Kyoto di Jepang yang merupakan sebuah persetujuan internasional yang sah mewajibkan Negara-negara industri untuk mengurangi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% dari tingkat emisi pada tahun 1990. Namun berdasarkan pertemuan lanjutan para pemimpin Negara anggota PBB di Nusa Dua, Bali ditemukan bahwa Amerika Serika, Kanada, Australia dan Jepang tidak bersungguh-sungguh menyelesaikan pemanasan global. Salah satu alasannya karena menurut Negara maju penyebab pemanasan global bukan hanya dari aktifitas industri mereka saja, namun juga dari hutan kita yang terbakar, rawa kita yang menghasilkan gas methana (NH4) serta peternakan. Hal ini disebabkan karena sektor pertanian Indonesia menyumbangan 13,6 persen gas rumah kaca. Emisi GRK sektor pertanian tanpa lahan gambut 70 persen berasal dari sawah, 29,9 persen dari peternakan dan 0,1 persen dari pembakaran residu pertanian. Gas utama yang diemisikan adalah gas metan dan N2O. Jika ditambah dengan alih fungsi lahan dan kehutanan, emisi GRK yang dihasilkan bertambah 47 persen.
Lagi-lagi Indonesia “diam” dengan fenomena tersebut. Belum lagi selesai isu pemanasan global. Sekarang isu limbah B3 yang masuk ke Indonesia menurut Direktur Keadilan Perkotaan Hijau Indonesia, Selamet Daroyni (Republika, 12/3) menilai masuknya limbah B3 ke Indonesia karena karena ketidaktegasan Presiden SBY. Menurut Selamet, Presiden melalui Jajarannya dapat menolak keras kepada Negara-negara yang masih mengekspor limbah B3 ke Indonesia. Bahkan Pemerintah juga bias memutuskan hubungan diplomatik.
Perbedaan pemahaman antara tiga instansi pemerintah terkait maraknya limbah B3 yang masuk, yaitu Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), Perindustrian dan Perdagangan. Padahal menurut undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan undang-undang No. 32 tahun 2009 terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, melarang setiap kegiatan impor limbah B3 dalam bentuk apa pun. Namun Kementrian Perindustrian dan Perdagangan mereka berpendapat, sepanjang masih memiliki nilai ekonomi, setiap barang boleh masuk ke Indonesia. (Republika, 12/3).
Jika memang benar yang dikatakan oleh Direktur Keadilan Perkotaan Hijau Indonesia, Selamet Daroyni, maka Indonesia tinggal bersiap menunggu kehancurannya, sebab bukan mustahil ketika segala sesuatu yang dilaksanakan hanya dengan alasan finansial dan ekonomi serta mengesampingkan fungsi daripada lingkungan, bahkan hingga tega “menghalalkan” limbah B3 masuk ke Indonesia, maka jangan “latah” ketika akan ada Kasus Love kanal, Minamata, fukusima dan lain sebagainya di Indonesia. Bersiaplah. Itu saja!
Ditulis oleh : Saprian (Mahasiswa TL angkt 2009)
Artikel ini diterbitkan oleh Harian Sumbawa Barat Pos Edisi 28 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar